Pada
tanggal 18 April 2020 PMKRI Cab. Palangka Raya “Sactus Dionisius” memperingati
Dies Natalis yang ke – 29 tahun, dimana sejak berdiri pada 18 April 1991 PMKRI
Cab. Palangka Raya “Sactus Dionisius” tentunya telah melahirkan ratusan kader
potensial yang terhimpun dari berbagai kabupaten di Provinsi Kalimantan Tengah
maupun dari berbagai daerah di Indonesia.
Dengan
momentum Dies Natalis PMKRI Cabang Palangka Raya ke – 29 ini, kita semua merasa
bersyukur atas usia yang sudah tidak lagi muda dan merasa perlu untuk
menghimpun kembali kader-kader guna mensinkronkan dan mengkonsolidasi
kader-kader PMKRI Cabang Palangka Raya lintas
generasi yang sekarang tersebar di berbagai daerah baik itu di Provinsi
Kalimantan Tengah maupun di daerah lainnya di Indonesia. Melalui momentum
peringatan inilah para kader diingatkan kembali atas perjuangan-perjuangan dan
proses yang telah dilalui selama mengabdi terhadap Perhimpunan.
Dalam
usia 29 tahun ini, ada beberapa hal yang dapat kita perhatikan sebagai bahan
refleksi untuk dapat terus berjuang dari ilmu dan pengalaman yang sudah
didapatkan di Perhimpunan
kita tercinta. Sebagai sebuah organisasi yang sudah hadir hampir tiga dasawarsa
di Kota Palangka Raya, PMKRI Cab. Palangka Raya terus eksis dan sudah banyak
kiprah yang ditorehkan merupakan sebuah pencapaian yang patut kita syukuri.
Namun dibalik pencapaian ini ada berbagai macam tantangan yang merongrong
Perhimpunan ini baik itu dari segi internal
maupun eksternal dan ada berbagai fase yang telah dilalui yang turut membentuk
serta mengubah dinamika di dalamnya. Karena kita, kader PMKRI, percaya bahwa
perubahan adalah sebuah keniscayaan bagi Perhimpunan. Tentu saja perubahan ke
arah yang lebih baik.
Cita-cita
luhur PMKRI yang tertuang dalam visi dan misi untuk dapat mewujudkan keadilan
sosial, kemanusiaan dan persaudaraan sejati dalam konteks kekinian merupakan
suatu tugas mulia yang sungguh menggetarkan bagi segenap anggota Perhimpunan.
Bagaimana kemudian hal ini bisa diwujudkan menjadi kenyataan dalam gerak
keseharian Perhimpunan yang dicerminkan dengan teladan dan spiritualitas anggota
di setiap karya kehidupannya. Inilah yang senantiasa menjadi pergulatan pastoral cycle atau juga dikenal doing theology spiral yang sejak dulu
hingga saat ini terus menerus diupayakan dalam Perhimpunan guna memastikan
keseimbangan antara refleksi dan tindakan.
Sejarah
Perhimpunan mencatat
bahwa dalam rentan waktu lampau PMKRI menjadi wadah pilihan sebagian besar
mahasiswa Katolik untuk menggalang solidaritas, melatih dan membentuk dirinya
menjadi manusia paripurna guna terlibat di berbagai sektor kehidupan Gereja dan
Tanah Air. Catatan itu memperlihatkan tingginya antusias mahasiswa Katolik
untuk ikut dalam dinamika Perhimpunan. Salah satu variabelnya adalah banyaknya output kader yang sampai saat ini mampu
mewarnai dalam kancah kehidupan bermasyarakat di berbagai tempat. Namun kondisi
ini berbeda dengan kondisi aktual saat ini. Hiruk pikuk persoalan bangsa yang
terasa semakin pelik, aksi-aksi kekerasan yang sering terjadi akhir-akhir ini,
runtuhnya moral-sosial, lompatan teknologi yang menyudutkan mereka yang lemah,
terbitnya kebijakan-kebijakan dari pemerintah yang terkesan ugal-ugalan dan
cenderung diskriminatif mempengaruhi concern
PMKRI Cab. Palangka Raya untuk merumuskan konsep pembinaan dan gerakan terutama bagi
generasi muda untuk menghadapi semua ini bahkan kemungkinan terburuknya membuat
Perhimpunan tumpul bersamaan dengan dominasi pragmatisme politik kekuasaan yang
mewabah ke dalam jantung Perhimpunan.
Pola
pembinaan PMKRI yang sampai saat ini memang terasa belum cukup menjawab
kubutuhan dan tuntutan di tengah kontekstualitas dan himpitan lajunya perkembangan
teknologi, turut menciptakan image the
other terhadap PMKRI. Hal ini terasa normal ketika kalangan umat dan
mahasiswa Katolik banyak menganut pemikiran zona nyaman yang selalu menilai
sesuatu lebih kepada kerja konkrit (pragmatis) dengan tidak memperdulikan
tuaian dimasa yang akan datang. Jika hal ini terus terjadi, maka bukan tidak
mungkin fluktuasi dan dinamika PMKRI Cabang Palangka Raya akan semakin menurun.
Yang
harus dicapai adalah pembinaan dan kaderisasi yang dijalankan memperlihatkan
adanya kebutuhan untuk mengakomodasi dan merespon tuntutan dan tantangan
sebagai dampak perubahan sosial yang terjadi. Pertanyaan-pertanyaan yang muncul
adalah bagaimana memfasilitasi penguatan basis spiritual kader, militansi
kader, pembentukan kemampuan leadership
dan karakter kader, pengembangan softskill,
motivasi untuk terus belajar dan memperluas wawasan kemasyarakatnnya, mulai
dari lingkup terkecil hingga wawasan global sebagai satu kesatuan? Bagaimanakah
memfasilitasi proses kaderisasi yang mampu melahirkan lapisan kader Perhimpunan
yang dapat menggerakan roda Perhimpunan baik itu secara kualitatif dan
kuantitatif serta mengembangkan jaringan dan kerjasama yang luas dengan
berbagai elemen masyarakat untuk mampu menembus sekat-sekat primordial? Bagaimana
mengkonsolidasi bagian-bagian terpenting Perhimpunan yaitu dengan alumni dan
hirarki Gereja guna memastikan arah dan proses serta isi pembinaan yang
dilakukan? Pertanyaan ini menjadi sulit dijawab karena kita dituntut untuk
melakukan sebuah imajinasi yang rasional disertai prediksi – prediksi keadaan
yang harus dilalui.
Peran
Perhimpunan di tengah dinamika kebangsaan yang memperlihatkan kondisi tidak
menentu terkait dengan distorsi aktualisasi substantif agenda reformasi yang
cenderung menyimpang merupakan kegelisahan besar yang belum terjawab. Bagaimana
bila ilmu pengetahuan dan intektualitas sebagian besar pribadi justru
dihiperbolakan sebagai bagian dari media untuk memperdayakan masyarakat, bukan
lagi untuk memberdayakan (enpower).
Apakah
tanggapan dan bentuk profetis Perhimpunan terhadap realitas polarisasi kakuatan
politik dengan agenda kepentingan jangka pendek, anarkisme dan tirani kelompok
tertentu yang mulai menggerogoti Pancasilla dan menyinggung keutuhan bangsa
yang akibatnya tidak jarang mengiris dan mencabik kemanusiaan kita.
Bagaimanakah Perhimpunan mengejawantahkan Ajaran Sosial Gereja menjadi sungguh
nyata dalam tugas suci sebagai umat awam terutama dalam kehidupan sosial
kemasyarakatan. Jawaban-jawaban kader Perhimpunan atas pertaanyaan-pertanyaan
ini paling tidak akan menentukan perspektif dalam melihat ralitas sebagai titik
awal refleksi internal yang kembali harus kita mulai hari ini.
Secara
makro, PMKRI Cab. Palangka Raya saat ini berupaya mengambil kebijakan yang
menyangkut kepentingan keorganisasian secara keseluruhan. Namun, dalam
realitasnya masih banyak kendala yang dialami dan belum maksimal. Kebijakan
yang telah dilakukan tersebut menyangkut kebijakan internal dan eksternal. Ini
berimbas pada kesadaran kritis dan politik Perhimpunan menjadi stagnan dan
berpengaruh pada eksistensi PMKRI dimata umat dan masyarakat secara umum. Hal
ini terasa pada saat fungsi kontrol yang dilakukan terhadap beberapa kebijakan
lokal tidak mampu membangunkan tidur masyarakat dan menggedor kesadaran dan
kepedulian kalangan umat dalam kemasyarakatan. Dengan kata lain, law enforcement telah menemui
ketidakberhasilan. Harus diakui PMKRI saat ini belum mampu menggelitik politic awareness anggota, mahasiswa dan
masyarakat secara umum.
Namun
terlepas dari itu semua,
sejauh mana kita memiliki dan menghasilkan kebanggaan dan kualitas, tentu tidak
perlu membangkitkan kegelisahan tetapi sebuah jawaban beralasan secara
rasional. Kalau buruk kita mesti katakan demikian begitu juga sebaliknya. Ini
sebuah refleksi kritis yang setidaknya atau seharusnya kita lakukan. Dan ini
tidak kemudian membuat kita justru terjebak dengan cerita pesimistis kembali,
tetapi sebagai teropong yang tidak sekedar menghasilkan instrumentalisme.
Artinya kesadaran kita akan pentingnya instrumen sebagai finalitas tujuan. Kita
hapus konvensi-konvensi yang menjadi penghambat Perhimpunan dan melemahkan
nilai-nilai PMKRI yang selama ini menjadi stereotype
mengenai PMKRI. Kita bangun keunggulan pribadi dengan integritas pribadi yang
utuh yang dicirikan dengan enam identitas kader PMKRI yaitu Sensus Chatolicus, Semangat Man For Others, Sensus Hominis, Pribadi Yang Menjadi Teladan, Universalitas dan Magis
Semper.
Nilai
kebenaran terutama tertanam di
dalam jiwa melalui kesadaran dan pengulangan berkali-kali (terlebih-lebih
secara meditatif) atas kesadaran tersebut, itulah rahmat ilahi atas diri
manusia yang terbungkus oleh kejasmaniannya. Kita semua adalah pelaku sejarah
dan kita semua mempunyai capability
dalam menginterprestasikannya. Sejarah perjalanan Perhimpunan kita adalah
sejarah dialektika realitas yang juga kepentingan bagi kita untuk berubah.
Kepentingan perubahan dalam hal ini, menjadi konsekuensi logis realitas. Hanya
dengan indegenious knowledge (nilai
kearifan) lah kita mampu memposisikan diri sebagai the slave of justice dengan percaya bahwa ada "a blessing in disguise" dari semua proses yang sudah terjadi.
Dirgahayu
Perhimpunanku tercinta.
Religio Omnium Scientiarum Anima
Pro Ecclesia et
Patria!!!
Penulis
: Egi Praginanta
Mantap bang
ReplyDeleteTerimakasih dek 🙏
ReplyDeleteNumpang promo ya gan
ReplyDeletekami dari agen judi terpercaya, 100% tanpa robot, dengan bonus rollingan 0.3% dan refferal 10% segera di coba keberuntungan agan bersama dengan kami
ditunggu ya di dewapk^^^ ;) ;) :*