Oleh : Anastasia Butarbutar
World
Health Organization (WHO)
mengumumkan sebuah virus baru yakni Coronavirus
Disease 19 (COVID-19) pada 11
Februari 2020. Setelah melewati fase wabah dan epidemi. Tidak butuh waktu lama,
kurun waktu satu bulan setelahnya, WHO menetapkan COVID-19 sebagai pandemi. Sebuah
pandemi menunjukkan pesatnya sebaran kasus penyakit tertentu yang telah mendunia.
Hal ini juga melanda Indonesia tepat 11 Maret 2020 dimana untuk pertama kalinya
warga negara Indonesia meninggal akibat pandemi COVID-19. Kemudian, diikuti
dengan rentetan kematian dan kesembuhan yang silih berganti.
Bukan hanya menelan korban
jiwa, dampak pandemi COVID-19 dapat dilihat dengan merosotnya ekonomi negara
terdampak dan tidak terdampak di dunia. Hal ini dikarenakan setiap negara pasti
menjalin hubungan internasional yang menuntut adanya jalinan kerjasama satu
negara terhadap negara lain untuk memenuhi kehidupan ekonomi, sosial dan budayanya.
Apabila suatu negara terdampak menghentikan ekspor suatu produk ke negara lain
maka negara tidak terdampak sekalipun akan merasakan imbas yang tidak baik
pula.
Hal inilah yang mendorong
pemerintah di berbagai negara untuk segera berdamai dengan pandemi COVID-19. Melakukan
banyak upaya yang menguras pendapatan negara mengakibatkan jumlah pengeluaran
berbagai negara memasuki angka yang cukup tinggi. Begitu pula dengan Indonesia
telah mengalokasikan dana Angka Pendapatan Belanja Negara (APBN) nya hingga Rp405,1
triliun khusus untuk menangani dampak penyebaran pandemi COVID-19 ini. Konferensi
pers Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) yang ditayangkan secara langsung
melalui akun YouTube resmi Kementerian Keuangan (Kemenkeu) pada 1 April 2020,
memaparkan perincian anggaran tersebut dibagi
dalam beberapa kelompok yakni kesehatan, social
safety net dan dukungan industri.
Melihat banyaknya dana yang
harus dikeluarkan guna memenuhi pra hingga pasca penanganan pandemi COVID-19,
menuntut kita melakukan upaya efektif yang lebih efisien. Terdapat upaya yang
dapat dilakukan oleh semua orang tanpa harus memandang stratifikasi ekonominya
untuk menyelamatkan dunia. If you can’t
do great things, do small things in a great way adalah ungkapan terkenal
milik Napoleon Hill. Penulis aliran pujangga baru Negeri Paman Sam itu
menyatakan bahwa jika anda tidak mampu melakukan hal-hal hebat, lakukanlah
hal-hal kecil dengan cara-cara yang hebat. Karena masalah besar dapat diatasi
dengan eksekusi serangkaian hal kecil. Hal kecil tersebut adalah mematikan ketakutan
(shut down panic)
Kenyataan bahwa angka kasus
pandemi COVID-19 yang bertambah setiap harinya, indikasi mudah menular serta diperhadapkan
dengan situasi penuh ketidakpastian rentan membuat seseorang mengalami ketakutan.
Masyarakat yang berdiam di rumah dalam menaati peraturan jaga jarak (social distancing), karantina atau
isolasi mandiri, pasien yang terjangkit hingga tenaga medis riskan menghadapi
ketakutan akan pandemi COVID-19 ini. Menyerang tak pandang bulu, anak-anak,
remaja serta lanjut usia pun bisa mengalaminya. Respons mereka saat mengalami
rasa takut berlebihan akan pandemi COVID-19 ini beragam. Ada yang mengoleksi sabun
pencuci tangan, menimbun makanan dan minuman instan, memborong masker dan hand
sanitizer serta menyimpan disinfektan berlebihan. Akibatnya panic buying pun terjadi. Panic buying dapat terjadi ketika
konsumen membeli sejumlah besar produk untuk mengantisipasi kenaikan atau
kekurangan harga yang besar akibat suatu bencana. Panic buying sering dikaitkan dengan keserakahan karena dapat
menimbulkan panic selling yang
diartikan sebagai suatu ketakutan dengan menjual kembali hasil timbunan namun
dibandrol harga tinggi. Akibatnya, berbagai jenis ketakutan inilah yang
nantinya dapat merugikan kelas ekonomi menengah ke bawah untuk memperoleh suatu
barang dan apabila ada harus membeli sisa barang dibandrol harga tinggi.
Untuk meredam aksi ketakutan
tersebut, Kementerian Perdagangan (Kemendag) juga menjanjikan kesiapan pasokan
pangan untuk masyarakat dengan harga terjangkau. Menteri Perdagangan Indonesia,
Agus Suparmanto juga mengklaim stok kebutuhan pokok masih bisa terpenuhi hingga
Ramadan dan Lebaran. Hal ini, dilakukan dengan harapan berkurangnya rasa takut
masyarakat akan kebutuhan pokok yang terbatas.
Melihat kenyataan di atas, ketakutan
pada hakekatnya menjadi tidak berarti. Sikap ketakutan dapat kita ganti dengan
waspada. Mencegah lebih baik daripada mengobati adalah pepatah yang umum
diperdengarkan. Konsep tersebut disebut pula dengan waspada. Waspada dalam
Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) diartikan dengan berhati-hati, berjaga-jaga
dan bersiap siaga. Untuk menghadapi pandemi COVID-19 dengan menghilangkan rasa
takut namun tetap bersikap waspada. Kedua istilah ini memang hampir mirip namun
memiliki perbedaan pengertian dan pengaplikasiannya. Bentuk waspada di tengah
pandemi ini berupa adanya pengendalian saat melakukan persiapan imun secukupnya
dari dalam dan luar tubuh. Kita juga dituntut untuk mematuhi protokol kesehatan
dan berbagai peraturan yang dikeluarkan oleh pemerintah setempat guna mengatasi
pandemi COVID-19.
Ketakutan akan pandemi COVID-19
merupakan hal yang wajar namun berbahaya. Tetapi, kesepelan akan menimbulkan
resiko berbahaya yang sama pula. Karena itu bereksekusi takut sewajarnya dan
tetap waspada. Mereka saling beriringan namun kontrol tetap di tangan kita. Selamatkan
dunia dengan tidak takut dan tetaplah waspada. Apabila kita telah paham akan
istilah takut dan waspada dengan baik. Maka, kita pun mampu mengeksekusinya
dengan benar dan tepat. Hal ini diharapkan dapat memutus mata rantai pandemi COVID-19
di Indonesia dan dunia.
Numpang promo ya gan
ReplyDeletekami dari agen judi terpercaya, 100% tanpa robot, dengan bonus rollingan 0.3% dan refferal 10% segera di coba keberuntungan agan bersama dengan kami
ditunggu ya di dewapk^^^ ;) ;) :*