“Perjalanan
hidup adalah kenangan yang menyenangkan dapat menginpirasi orang lain bahkan
dapat membuat kita tertawa sendiri ketika mengingatkannya kembali”
Mengitari perkampungan di sekitar tempat saya dilahirkan
tentunya menarik untuk dipandang dan merasakan nuansa ketenangan. Tetapi
menjadi kekurangan bahkan Kelemahannya sekarang ini masih banyaknya cerita
tempo dulu yang kurang kita pahami oleh generasi muda saat ini apalagi tentang manfaat
bahkan tujuan dari suatu kegiatan turun-temurun di dalam masyarakat setempat
dilaksanakan seperti kebiasaan masyarakat
dayak ma’anyan dalam hal membuka lahan untuk berladang
dengan cara dibakar sampai puncaknya ucapan syukur atas hasil panen yang
didapat. Di dalam siklus tersebut tentunya ada beberapa proses yang harus dilalui
pemilik ladang untuk mencapai hasil akhir yang maksimal sesuai yang diharapkan.
Sehingga untuk menjawab hal tersebut pada sore hari saya ngobrol santai bersama
seorang nenek asli suku dayak ma’anyan
yang sudah bisa dikatakan memahami dalam
hal membuka lahan untuk menanam padi dengan cara membakar baik dari metode
sederhana yang biasa dilakukan, maupun dari syarat-syarat yang harus dilakukan
maupun pantangannya/aturan yang harus senantiasa ditaati.
Hal tersebut disampaikan, sebab semenjak
dia dilahirkan sudah melihat besarnya pohon di tengah hutan kalimantan yang
penuh dengan kesejukan dan kenikmatan bahkan hutan sudah menjadi rumah keduanya
sebab menjadi sumber kehidupan sampai saat ini adalah dari hutan “Lahir
di hutan, mencari makan dari hutan”. bahkan keganasan/kebengisan hutan
kalimantan pun tak luput dia ceritakan dari pengalaman perjalanan panjangnya dimasa
lalu, nama nenek tersebut Sadem Bin Lamen adalah seorang
perempuan yang lahir 87 tahun silam di pelosok hutan Kalimantan yang sekarang
sudah menjadi perkebunan sawit, dia sering dipanggil dengan sebutan nenek
jumpet karna sudah memiliki cucu 18 cicit 10 dan saya sendiri adalah
cucunya.
Dalam tulisan singkat dari hasil percakapan di teras
rumah ini memuat tentang pengalaman nenek jumpet yang beranjak dari
kerinduannya untuk mengingat kembali perjuangan panjangnya untuk dapat bertahan
hidup ditengah keterbatasan dalam ekonomi yang selalu menghantui setiap waktu. salah
satunya upaya yang dia lakukan waktu itu untuk melawan kemiskinan adalah dengan
selalu melakukan pembukan lahan dengan cara membakar untuk menanam padi. sehingga
cerita seputar proses berladang suku dayak ma’anyan
secara terkhusus yang berada didesa simpang naneng tempo dulu, sampai pada saat
ini yang masih diterapkan masyarakat setempat masih lengket dalam ingatannya seperti
proses berladang masyarkat setempat selalu dimulai dengan Tamaroh/nyuwuk lasi, Neweng,
Muau, masi dan ucapan rasa syukur masyarakat kepada sang pencipta,
adapun uraian singkatnya ada dibawah ini.
Tamaroh/Nyuwuk Lasi
Dalam konsep bercocok tanam masyarakat Dayak Ma’anyan dalam hal membuka lahan dengan cara membakar
pastinya dimulai dengan Tamaroh/nyuwuk
lasi, hal tersebut dilakukan orang untuk memantau/melihat hutan yang akan
dibuka menjadi lahan bercocok tanam dan minta ijin kepada tanah tersebut
sebagai rasa hormat yang telah memberi suatu penghidupan. Tamaroh/nyuwuk lasi secara
umum adalah suatu kegiatan membuka lahan dengan memotong kayu-kayu kecil dengan
menggunakan parang, biasanya dilakukan masyarakat suku dayak Ma’anyan pada musim penghujan biasanya di akhir bulan juni.
Sebab Masyarakat mempercayai masa/waktu tesebut menurut kepercayaan orang dulu
(nenek moyang mereka) dapat “membuat
busuk kepala dan sarung parang, membuat busuk tas tradisonal yang terbuat dari
rotan (lanjung)” dalam artian sederhananya memotong kayu menggunakan parang
sehingga diharapkan pohon tersebut dapat busuk dan kering untuk siap dibakar
nantinya sebagai tempat menanam padi.
Neweng dan nutung
Selesainya Tamaroh/nyuwuk lasi, ada proses selanjutnya yang
harus ditempuh masyarakat setempat yang dinamakan dengan neweng (membuka lahan dengan memotong kayu-kayu besar sisa dari
Tamaroh) biasanya dilakasanakan bulan juli
dan agustus dengan menggunakan beliung atau zaman sekarang menggunakan mesin
sinso. Sedangkan di bulan septembernya menjadi proses nelai jewe (membiarkan
pohon yang ditebang didalam lahan menjadi kering) supaya siap dibakar untuk menjadi
lahan menamam padi masyarakat dayak Ma’anyan.
Pastinya dalam proses tersebut cuaca memasuki musim kemarau maka setelah lahan
kering sudah siap untuk dibakar (Nutung). dan ada juga sebagian masyarakat
setempat di akhir bulan september sudah memulai untuk Muau pidahulu (menabur
benih padi dilahan yang sudah dibuka lebih cepat dari kebiasaan sebelumnya yang
dilakukan masyarakat dayak maanyan).
Muau
Proses waktu yang tepat untuk menaburkan benih padi
dilahan yang habis dibakar tadinya menurut masyarakat setempat, adalah satu bulan sehingga jatuhnya di bulan Oktober atau diawal
November. Menurut orang dulu (nenek moyak suku dayak Maanyan) bulan oktober adalah bulan katiga
sedangkan bulan september adalah bulan karo.
Pembeda antara keduanya terdapat didalam prosesnya bulan karo
adalah penantian untuk benih padi siap ditaburkan sedangkan bulan ketiga adalah
benih ditaburkan kepada lahan yang dijadikan tempat bertani. Sehingga setelah
mulai redupnya bulan karo (september) banyak orang sudah masuk kedalam proses
menaburkan benih padi “dite gilai, longkong madinei” atau
padi pulut dan padi biasa di lahan yang telah dibakar sebelumnya. Maka memasuki
bulan katiga (Oktober) padi sudah berat dan siap untuk tumbuh. Sehingga lamanya
waktu/batasan waktu yang dibutuhkan berdasarkan tradisi dan kebiasaan
masyarakat setempat untuk proses menabur benih padi berakhir di bulan oktober
atau awal november.
Terdapat juga sesuatu hal yang menarik dipelajari dan
menjadi pertanyaan kepada orang yang baru mengikuti proses menanam benih padi
didalam suku dayak ma’anyan pastinya. Biasanya
sebelum dimulai menaburkan benih padi, diletakanlah sebuah patok yang letak
posisinya tepat di tengah Ume (lahan
tempat berladang orang dayak Ma’anyan) yang dinamakan
masyarakat setempat panuwuan. Panuwuaan
biasanya sebagai pusat pertamakali dimulainya orang menabur benih padi dilahan
tersebut dan juga sebagai tempat berakhrinya memanen padi nantinya. Panuwuan
secara kasat mata adalah patok/bekas kayu yang letaknya berada ditengah lahan
secara pilosofi suku dayak ma’anyan tentu banyak hal yang dapat kita maknai dalam
kehidupan sehari-hari.
Menurut cerita nenek moyang dulu ungkap nenek jumpet padi
ibaratkan manusia dan panuwuan adalah rumahnya tempat dia tinggal dan memulai
segalanya untuk suatu kebaikan di kehidupan. Secara filosofi “Padi beranjak
pergi dari panuwuan dan kembali kepada panuwuan”, dapat dianalogikan padi pergi
berlayar dengan tujuan mencari emas, intan, dan permata untuk dibawa pulang
sebagai hasil yang dipersembahkannya kepada orang di panuwuannya yaitu pemilik
lahan atau dalam realitasnya padi yang dihasilkan nantinya bagus tanpa cacat
dan berisi semua sehingga hasil panen berlimpah
ruah.
Tentunya didalam perjalanan padi tersebut tidak semuanya
dapat berjalan dengan mulus pasti ada rintangan maka kebiasaan pemilik lahan
berdoa didepan panuwuan sambil menaburkan benih dan berkata “ nama ku normalia nama ikam norrajaaulia
diam dipohon tungul makan wasi mencari amas intan kesitu kemari, ada hampe wua
jawaa wawui-kawawe, kawan parang-palanuk, umpit- balawau, tenek awangau,
mitahleh hanyu tanjung mawitu, rantau sukat bujur ada mitah tanjung ekut
wintan, rantau elong banyu, mitah lah tanjung kala bantang uwei, rantau kala
entang luyang, ada naun saliah mayaru ati harus tatap hempe tujuan kembali teka pelayaran ma panuwuan”
artinya selama proses mencari emas-intan, jangan sampai padi dirusak/diganggu
oleh binatang-binatang yang dapat menyebabkan padi yang dihasilkan tidak bagus
sesuai yang diharapkan pemilik lahan. Sehingga setelah selesai proses tersebut
barulah dimulai menabur padi dilahan tersebut atau dalam bahasa dayak
maanyannya Muau.
Dalam proses menaburkan benih padi juga sangat berbeda
dengan memanen padi, seperti halnya menabur benih itu dimulai dari pinggir
dengan jalur miring kearah matahari terbit dengan tujuan yang dimaksud orang
dulu (Nenek Moyang) agar dapat menghimpun semua padi masuk kedalam tengah lahan
yang terdapat panuwuan yang menjadi rumah padi sehingga segala bentuk mara
bahaya menjauh dan tidak dapat merusak pertumbuh dan perkembang padi sehingga
nantinya tetap terjaga.
Masi
Masi (memanen padi/memetik padi) biasanya dilaksanakan
diakhir
bulan Maret sampai awal bulan Mei, biasanya dilakukan saat kondisi cuaca yang
seimbang tidak musim penghujan maupun kemarau. Hal tersebut juga menjadi tahap terakhir dalam segala proses
berladang masyarakat setempat dan nantinya lahan tersebut dialih fungsikan
dengan ditanamkan pohon karet yang menjadi mata pencarian sebagian besar masyarkat setempat .
Sebelum pemilik lahan memulai memanen/memetik padi yang
sudah menguning, biasanya dimulai dengan pemilik ladang berdiri di tengah lahan
tetapnya didepan panuwuan dengan memetik daun kayu yang masih segar dan mengambil
tanah. nantinya tanah diikat menggunakan daun padi didekat panuwuan sembari
daun kayu segar diletakan diatas ikatan tersebut. Lalu gabungan dari semuanya
diletakan didekat panuwuan yang diikat tadinya. Langkah selanjutnya yang
dilakukan pemilik ladang adalah dengan meludahi daun kayu hidup dan tanah yang
diikat tersebut sambil menahan nafas dan berkata “kalau rugi tanah ini akan rugi juga hasil panen yang didapatkan kami”.
Tujuannya dilakukan menurut kepercayaan masyarakat setempat supaya hasil panen
jangan mudah habis dan padi yang dihasilkan bagus sesuai keinginan pemilik
ladang. kebiasaan tersebut selalu dilakukan oleh masyarakat setempat setiap
tahunnya sampai pada saat ini.
Sedangkan kalau proses memanen/memetik padi (masi)
berbeda dengan proses menabur benih padi sepertI masyarakat dayak ma’anyan memakai jalur berkeliling yang dimulai dari pinggir
dan membentuk huruf L. Katanya karena alat tradisional yang digunakan untuk
memanen padi (gentu) tajamnya menuju kearah
pinggir lahan tidak kearah panuwuan (tengah lahan). Secara logikannya
sederhananya dapat dipahami hal tersebut dilakukan supaya titik akhirnya dari
proses memetik padi berada tepat di panuwuaan dan tidak ada yang
tersisakan/terlewatkan oleh pemilik lahan, sehingga jalur yang ditempuh
membentuk huruf L.
Permasalahan
Dari proses awal kita membuka lahan dengan cara dibakar
sampai pada puncaknya memanen padi tentunya selalu ada permasalahan yang di
hadapi seperti konflik perebutan lahan, perusakan terhadap padi yang dilakukan
sengaja oleh beberapa orang, dll. Maka bagaimana proses
yang harus dilakukan menurut kepercayaan dan kebiasaan masyarakat dayak ma’anyan menyikapi permasalahan tersebut ?. Maka sudah secara
mutlak harus dilakukan saki pilah atau pembersihan dan
pemurnian kembali sehingga hawa panas menjadi dingin kembali atas kelakuaan
yang kurang berkenan untuk perkembangan padi oleh oknum tertentu. Saki
pilah/pembersihan dilakukan masyarakat setempat dengan menggunakan telur ayam
kampung atau darah ayam kampung yang nantinya dioleskan ketempat bermasalah sambil
berkata “ mauah
mawatek mudi maurai kala eau kala bahum ulun laku ku ada umeng hambat ma naun
bajalan nintu naun kaiuh” artinya secara umum supaya jalan tetap mulus
tanpa ada gangguan selama melaksanakan perjalanan. Adapun Tujuan hal tersebut
dilakukan secara umumnya supaya padi tetap dapat menghasilkan panen yang bagus
karna dia dihargai dan dicintai oleh pemiliknya dan dengan harapan supaya
perjalanannya mencapai tujuan jangan ada terhambat dan menyebabkan hal yang
tidak baik dimasa yang akan datang.
Ucapan
syukur dari pemilik lahan
Di akhirnya setelah
selesainya memanen/memetik padi pasti selalu ada ucapan syukur yang dipanjatkan
kepada sang pencipta langit dan bumi. Orang dulu (nenek moyang suku Dayak Ma’anyan) setelah selesai panen mereka selalu mengingat kata
“ikutip” dimana membawa orang satu atau dua untuk memanjatkan syukur karna
telah selesainya panen dan mendapatkan hasil yang baik untuk menjalankan
kehidupan .Terdapat juga hal yang menarik untuk diceritakan yaitu ada kebiasaan
yang dilakukan masyarakat setempat, waktu pertama kali mencuci beras hasil
panen airnya tidak pernah dibuang secara langsung melainkan mengusapkannya muka
karna dipercaya supaya terhindar dari sakit demam ketika mau memanen padi ditahun
selanjutnya. Ada juga rumor yang beredar didalam masyarakat air tersebut dapat
membuat seseorang awet muda. Dalam hal ini dipertegas nenek jumpet itu tidak
benar, kalau ingin awet muda menurut cerita nenek moyang dulu ada ilmunya yang
dinamakan Sapu gamar, tetapi sekarang sudah tidak ada masyarakat secara
terkhusus masyarakat dayak ma’anyan yang mempraktekan ilmu
seperti itu dimasa sekarang ini.
Perjalanan hidup adalah kenangan yang menyenangkan dapat
menginpirasi orang lain bahkan dapat membuat kita tertawa sendiri ketika
mengingatkannya kembali. Akhirnya semoga cerita singkat ini dan ungkapan
kerinduan dari nenek jumpet dapat menjadi pemahaman baru bagi generasi-generasi
muda yang belum sempat merasakan panasnya membakar hutan ditengah terik
matahari, dinginnya hujan yang membahasi badan ketika memetik padi dan tetesan
keringat yang membasahi seluruh tubuh ketika menjalankan setiap proses dari
awal sampai puncaknya seperti ulasan diatas serta yang paling utama hanya kebersamaan
ditengah ladang yang panas hanya mampu membuat senyuman pemacu semangat ditengah
kesesakan diselimut rasa capek yang membayang-bayangi.
Penulis,
Obi Seprianto (Asli Ulun Dayak Ma’anyan Desa Simpang Naneng)
Numpang promo ya gan
ReplyDeletekami dari agen judi terpercaya, 100% tanpa robot, dengan bonus rollingan 0.3% dan refferal 10% segera di coba keberuntungan agan bersama dengan kami
ditunggu ya di dewapk^^^ ;) ;) :*