Oleh
: Jodii Arlan Kurnia
Hari
ini, 21 Mei 2020 tercatat bahwa corona virus (COVID19) telah menginfeksi
4.864.881 warga dunia. Dengan jumlah meninggal mencapai 321.818. sedangkan di
Indonesia sendiri, sejak dikonfirmasinya kasus positif corona di Indonesia
yaitu pada tanggal 2 Maret 2020. Hingga saat ini jumlah terkonfirmasi penyakit
ini adalah 20.162 dengan jumlah kematian 1.278. (Gugus Tugas Percepatan Penanganan COVID19, 2020)
Berbagai cara dilakukan oleh pemerintah untuk menanggulangi virus ini. Dari mulai
PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar), skrining Rapid Test, test swab PCR, hingga produksi APD (Alat Pelindung
Diri) besar-besaran di lakukan demi mengatasi menangani virus ini. Namun
diantara kebijakan-kebijakan tersebut, PSBB dinilai sangat penting karena
dampaknya yang besar dalam memutus rantai penyebaran virus corona ini.
PSBB
sendiri telah dilakukan di beberapa negara dan sukses mengendalikan virus ini.
salah satu negara yang sukses menangani virus ini melalui kebijakan lockdownnya (sebutan PSBB di dunia
Internasional) adalah Vietnam. Walau negara ini berbatasan langsung dengan
China yang merupakan negara awal munculnya virus ini, namun negara ini sukses
menekan angka kasus terkonfirmasi dan sukses dalam meniadakan korban jiwa.
Penjagaan perbatasan beserta sistem trackingnya (penelusuran kasus terduga terinfeksi
melalui pihak yang berinteraksi dengan pasien terkonfirmasi) membuat negara
mampu mengendalikan penyebaran virus ini. Warga Vietnampun dengan sangat patuh
mengikuti kebijakan ini. sehingga terjadi keselarasan antara kebijakan
pemerintah dan implementasinya ke masyarakat. (Al Hikam, 2020)
Negara lain yang juga sukses dalam menangani COVID19 ini
adalah Hongkong. Seperti halnya dengan vietnam yang mengimplementasikan
kebijakan lockdown dengan baik. Dari
total 1055 kasus terkonfirmasi, 4 orang meninggal akibat COVID19 ini, capaian
ini termasuk yang minimal diantara negara-negara lain di dunia. Mengingat negara
ini juga berbatasan langsung dengan China. Peneliti berpendapat bahwa selain
kebijakan lockdownnya. salah satu alasan suksesnya negara ini
dalam menangani penyakit ini adalah kesadaran warganya dalam memakai masker.
Bahkan sebelum kebijakan resmi dari pemerintah yang mewajibkan warganya memakai
masker dalam kegiatan sehari-hari. warga sudah sadar untuk memakai masker. Diikuti
dengan kebijakan pendukungnya yaitu melarang industri dalam negeri untuk
mengekspor masker, Hongkong menjadi salah satu negara yang sukses dalam
menangani COVID19 ini. (Al Hikam, 2020).
Dari dua negara ini dapat disimpulkan bahwa memang kebijakan lockdown dapat menjadi solusi sebagai penanganan efektif dalam menangani penyakit ini. Terbukti dengan dua negara ini yang sama-sama menerapkan kebijakan tersebut. Dunia Internasionalpun juga mengakui bahwa kedua negara ini mampu menekan dengan baik kasus terkonfirmasi dan meminimalisir korban jiwa. Disatu sisi, kebijakan lockdown dan kebijakan lain di negara tersebut juga diikuti dengan kesadaran masyarakatnya, baik kesadaran dalam menaati kebijakan pemerintahnya. Maupun kesadaran diri dalam melindungi diri sendiri agar terhindar dari penyakit ini. Namun bagaimana dengan Indonesia?
Dengan jumlah warga yang sangat besar, menyamakan dua negara tersebut dengan Indonesia tentu bukan keputusan yang bijak. Karena bagaimanpun juga untuk mengatur warga dalam jumlah yang sangat besar tentu memiliki usaha yang besar pula. Namun bagaimanapun juga, kebijakan yang strategis dan spesifik harus diterapkan terutama terkait kesadaran masyarakat akan bahaya COVID19 ini. Walau pemerintah memberikan kebijakan sebagus mungkin, jika warganya tidak mampu memahami dengan baik tujuan kebijakan tersebut maka ada kecenderungan bahwa masyarakat akan melanggarnya. Hal ini terbukti dari masih banyaknya pelanggaran PSBB seperti masih banyaknya kendaraan yang lalu lalang, banyaknya kantor yang masih tidak menerapkan work from home, banyaknya aktifitas yang belum menerapkan physical distancing, dan seterusnya. (Iqbal, 2020)
Dari dua negara ini dapat disimpulkan bahwa memang kebijakan lockdown dapat menjadi solusi sebagai penanganan efektif dalam menangani penyakit ini. Terbukti dengan dua negara ini yang sama-sama menerapkan kebijakan tersebut. Dunia Internasionalpun juga mengakui bahwa kedua negara ini mampu menekan dengan baik kasus terkonfirmasi dan meminimalisir korban jiwa. Disatu sisi, kebijakan lockdown dan kebijakan lain di negara tersebut juga diikuti dengan kesadaran masyarakatnya, baik kesadaran dalam menaati kebijakan pemerintahnya. Maupun kesadaran diri dalam melindungi diri sendiri agar terhindar dari penyakit ini. Namun bagaimana dengan Indonesia?
Dengan jumlah warga yang sangat besar, menyamakan dua negara tersebut dengan Indonesia tentu bukan keputusan yang bijak. Karena bagaimanpun juga untuk mengatur warga dalam jumlah yang sangat besar tentu memiliki usaha yang besar pula. Namun bagaimanapun juga, kebijakan yang strategis dan spesifik harus diterapkan terutama terkait kesadaran masyarakat akan bahaya COVID19 ini. Walau pemerintah memberikan kebijakan sebagus mungkin, jika warganya tidak mampu memahami dengan baik tujuan kebijakan tersebut maka ada kecenderungan bahwa masyarakat akan melanggarnya. Hal ini terbukti dari masih banyaknya pelanggaran PSBB seperti masih banyaknya kendaraan yang lalu lalang, banyaknya kantor yang masih tidak menerapkan work from home, banyaknya aktifitas yang belum menerapkan physical distancing, dan seterusnya. (Iqbal, 2020)
Beberapa penyebab mengapa masyarakat memiliki kecenderungan seperti ini adalah salah satunya akibat rendahnya kesadaran diri dalam menjaga kesehatan. Dimana salah satu indikator tingkat kesadaran terkait menjaga kesehatan ini adalah PHBS (Perilaku Hidup Bersih dan Sehat). Di dalam PHBS sendiri, yang menjadi salah satu faktor penting adalah perilaku cuci tangan. Terkait dengan cuci tangan ini, indikator utama tinggi atau rendahnya masyarakat menerapkan budaya cuci tangan adalah terkait penyediaan fasilitas cuci tangan itu sendiri. Di regional Asia, data pada tahun 2017 menyatakan Indonesia saat itu memiliki skor indikator 71,60 dari 100 terkait akses fasilitas cuci tangan dasar. Hal ini menempatkan Indonesia di peringkat 17 dari 23 negara di regional Asia. Jauh di bawah Vietnam (92,54), Myanmar (91,95) dan Kamboja (88,24) yang secara berurutan berada di peringkat enam, tujuh dan delapan di Asia. (WHO/UNICEF, 2019) ketiga negara tersebut menempatkan dirinya dalam jajaran negara dengan jumlah kasus terkonfirmasi terendah di Asia bahkan dunia, yaitu Vietnam 324 kasus, Myanmar 199 kasus, dan Kamboja 122 kasus per tanggal 21 Mei 2020 ini. Sedangkan Indonesia sendiri jumlah kasus terkonfirmasi mencapai 19.189 (Hannah Ritchie, Max Roser, 2020)
Di tingkat akar rumput sendiri, penulis melakukan penelitian sendiri dan melakukan pendekatan deskriptif terkait berbagai alasan mengapa masyarakat cenderung enggan untuk mencuci tangan. Terdapat tiga fasilitas publik yang menjadi target, pertama adalah tempat ibadah, bank, dan apotek. Walau pada tiga tempat tersebut memiliki fasilitas cuci tangan dasar di setiap pintu masuk. Tercatat hanya 8% pengunjung yang melakukan cuci tangan sebelum memasuki fasilitas publik tersebut. selain itu fenomena menarik yang ditemukan di lapangan adalah alasan mereka tidak mencuci tangan karena mereka merasa bahwa tangan mereka tidak kotor atau bersih. Alasan lain adalah karena mereka merasa sehat-sehat saja, maka mencuci tangan dirasa tidak diperlukan. Dari sini dapat disimpulkan bahwa masyarakat masih belum paham betul tujuan mencuci tangan dalam pencegahan COVID1919 ini. Seperti halnya dosa yang tidak terlihat, nampaknya penyepelean cuci tangan adalah karena virus ini yang juga tidak terlihat secara kasat mata. Sehingga sulit untuk mereka memahami apa pentingnya cuci tangan bagi mereka.
Oleh karena itu, perlu adanya sebuah
cara yang memungkinkan masyarakat paham betul akan pentingnya cuci tangan. Sehingga
selain masyarakat paham terkait bagaimana penyebaran virus ini, juga membuat
masyarakat memahami bahwa penyebaran virus sangat cepat jika setiap orang tidak
menerapkan cuci tangan dengan baik.
SOFCOR (Simulation Of Fluorescent In Corona Elucidation) adalah sebuah ide
simulasi untuk menjelaskan bagaimana COVID19 menyebar melalui aktifitas
sehari-sehari dengan upaya menampakkan virus tersebut secara artifisial. Jadi,
secara teknis pada tahap 1, peserta akan diberikan cairan fluorescent (cairan yang dapat mengeluarkan cahaya pada keadaan
gelap) dimana selanjutnya peserta akan disuruh untuk melakukan aktifitas biasa
di lingkungan orang banyak pada suatu ruangan. Peserta dianggap sebagai seorang
yang menderita COVID19. Dengan cairan fluorescent ini di tangan, maka setelah
beraktifitas pada ruangan tersebut akan tercetak bekas-bekas cairan tersebut
yang menempel pada permukaan di lingkungan tersebut atau bahkan orang lain yang
bersinggungan dengan lingkungan tersebut. Kemudian setelah beberama menit,
lampu ruangan dimatikan. Selanjutnya kita lihat bersama-sama jejak cairan
tersebut yang kemungkinan besar sudah menyebar di area dan bahkan orang-orang
disekitarnya. Jejak cairan inilah yang mempresentasikan bagaimana COVID19
menyebar secara cepat pada orang-orang disekitarnya.
Selanjutnya, simulasi ini
dilanjutkan dengan cuci tangan. Simulasi tahap 2 ini bertujuan untuk mengetahui
bagaimana jika setiap orang yang telah diberikan cairan fluorescent kemudian peserta langsung mencuci tangannya dengan benar.
Maka seperti simulasi pada tahap sebelumnya, setelah mencuci tangan peserta
akan disuruh melakukan aktifitas biasa diruangan penuh orang tersebut. kemudian
setelah beberapa menit lampu dimatikan dan dilihat apakah cairan menyebar atau
tidak. Pada tahap 2 ini dapat dipastikan jika peserta mencuci tangannya dengan
baik dan benar (5 langkah cuci tangan dalam 20 detik) maka tidak didapatkan fluoroscent yang menyebar.
Dari sini selanjutnya peserta diajak
untuk menyimpulkan sendiri bagaimana pentingnya cuci tangan sebagai solusi
efektif pencegahan penyebaran COVID19. Secara spesifik penulis menyarankan
bahwa SOFCOR ini dapat diimplementasikan di tempat publik yang memiliki
keseharian rutin terutama di tempat-tempat ibadah dan tempat publik lainnya.
Serta dari segi subjek, diharapkan SOFCOR ini diimplementasikan pada tokoh
masyarakat. Sehingga dapat memberikan edukasi dan pemahaman terhadap lingkungan
mereka terkait pentingnya cuci tangan ini. Secara keamanan, cairan fluorescent ini aman untuk kulit.
Sedangkan secara harga, cairan ini dapat dibuat sendiri melalui serbuk fluorescent yang dicampur air dan dapat
dibeli di toko online dengan harga sekitar Rp. 11.000 – Rp. 20.000. (tokopedia.com)
sehingga dalam pengimplementasiannya sangat mudah, murah dan aman. Diharapkan
solusi ini mampu memberikan brainstorming
bagi masyarakat terkait pentingnya cuci tangan. Sehingga diharapkan kasus
COVID19 ini dapat diminalisir penyebarannya.
Referensi :
Gugus Tugas Percepatan Penanganan COVID19 (2020) Situasi
Virus Covid-19. Available at: https://covid19.go.id/.
Hannah Ritchie, Max
Roser, E. O.-O. and J. H. (2020) Coronavirus pandemic (COVID-19) – Country
by country, our world in data. Available at:
https://ourworldindata.org/coronavirus-country-by-country?country=IDN+VNM+KHM+MMR#confirmed-cases.
Al Hikam, H. A. (2020) Taiwan
hingga Vietnam Sukses Tekan Corona, Apa Rahasianya?, Detik Finance.
Available at: https://finance.detik.com/berita-ekonomi-bisnis/d-5020545/taiwan-hingga-vietnam-sukses-tekan-corona-apa-rahasianya.
Iqbal (2020) PSBB
Dilanggar, Benarkah?, Voice of Indonesia. Available at:
https://voi.id/artikel/baca/5058/psbb-dilanggar-benarkah.
WHO/UNICEF (2019) Progress
on household drinking water , sanitation and hygiene I 2000-2017. New York:
United Nation.
Numpang promo ya gan
ReplyDeletekami dari agen judi terpercaya, 100% tanpa robot, dengan bonus rollingan 0.3% dan refferal 10% segera di coba keberuntungan agan bersama dengan kami
ditunggu ya di dewapk^^^ ;) ;) :*