Oleh : Maksimianus Keo
Pengantar
Matahari bersembunyi di balik gelapnnya malam. Kesunyian, kehampaan, kegalauan, seolah-olah tidak ada yang
benar-benar berarti menjadi teman perjalanan kita semenjak akhir 2019. Pandemi
Corona, virus yang menyebar dengan skala cepat, tak terlihat, dengan korban
yang terus berubah-ubah pada statistik nasional maupun internasional
menggelisahkan. Tidak heran pertanyaan yang lalu muncul adalah siapa yang
mendatangkan virus ini. Kaum agamis menyebutnya sebagai tulah dari yang Maha
Kuasa, dan ada yang menyebutnya sebagai konspirasi. Pro-kontra lalu muncul,
menjadikan termin Covid-19 bukan hanya nama sebuah penyakit, melainkan
paradigma berpikir, yang menggugat dan mengubah semua tradisi prilaku manusia
di mana pun. Dari semua presepsi yang ada, mengenai asal muasal virus ini,
rasanya yang paling jarang muncul dalam diskusi publik adalah kenyataan bahwa Pandemi Corona berasal dari kelelawar, artinya menyangkut manusia dengan alam.
Mungkinkah corona merupakan kulminasi hubungan jangka panjang manusia dan alam
yang berangsur-angsur surut?
Corona
bersifat Zoologis
Telah lama diketahui bahwa kehadiran virus corona bersifat zoologis, artinya berasal dari hewan. Virus ini pertama kali muncul di Wuhan, China, pada akhir 2019. Saat itu lebih dari seratus warga Wuhan terkapar pada virus tersebut dan memaksa pemerintah China menutup kota pada 23 Januari 2020.[1] Meski begitu, di luar dugaan memang, virus ini lalu dengan cepat merambah ke berbagai negara, termasuk Indonesia. Persebaran tersebut membuat masyarakat manusia harus mengunci diri sebagai cara yang paling mungkin dilakukan mengingat belum ada penemuan vaksin yang mumpuni untuk melawan virus ini. Yang menarik adalah, ternyata alam kita tidak mengunci diri, ada suatu daya mistik yang seolah-olah memberi tanda bahwa “langit itu diam namun sedang mencipta tatanan yang baru”. Fritjof Capra dalam bukunya The Turning Point, Science, Society and the Rising Culture (1988), menyebut bahwa sistem kehidupan (a system of biology) merupakan relasi manusia dan lingkungan secara resiprokal dan keterjalinan tersebut membentuk sebuah pola yang hakiki dan mendasar dalam seluruh hidup.
Dari perspektif filsafat lingkungan, keterikatan antara relasi manusia dan alam tampak jelas relasi dengan keberadaan sekitar. Seperti dicatat Arne Naess dalam Ecology, Community, and Lifestyle (1989), status atau identitas kita sebagai manusia, tidaklah mungkin bisa dipisahkan dari alam, karena kita dibentuk ole alam itu sendiri. Dengan kata lain, seluruh aspek kehidupan manusia dalam segala tingkatan, baik biologis, ekonomi, dan spiritual, tidak bisa dilepaskan dari keberadaan alam semesta dan seluruh isinya.
Telah lama diketahui bahwa kehadiran virus corona bersifat zoologis, artinya berasal dari hewan. Virus ini pertama kali muncul di Wuhan, China, pada akhir 2019. Saat itu lebih dari seratus warga Wuhan terkapar pada virus tersebut dan memaksa pemerintah China menutup kota pada 23 Januari 2020.[1] Meski begitu, di luar dugaan memang, virus ini lalu dengan cepat merambah ke berbagai negara, termasuk Indonesia. Persebaran tersebut membuat masyarakat manusia harus mengunci diri sebagai cara yang paling mungkin dilakukan mengingat belum ada penemuan vaksin yang mumpuni untuk melawan virus ini. Yang menarik adalah, ternyata alam kita tidak mengunci diri, ada suatu daya mistik yang seolah-olah memberi tanda bahwa “langit itu diam namun sedang mencipta tatanan yang baru”. Fritjof Capra dalam bukunya The Turning Point, Science, Society and the Rising Culture (1988), menyebut bahwa sistem kehidupan (a system of biology) merupakan relasi manusia dan lingkungan secara resiprokal dan keterjalinan tersebut membentuk sebuah pola yang hakiki dan mendasar dalam seluruh hidup.
Dari perspektif filsafat lingkungan, keterikatan antara relasi manusia dan alam tampak jelas relasi dengan keberadaan sekitar. Seperti dicatat Arne Naess dalam Ecology, Community, and Lifestyle (1989), status atau identitas kita sebagai manusia, tidaklah mungkin bisa dipisahkan dari alam, karena kita dibentuk ole alam itu sendiri. Dengan kata lain, seluruh aspek kehidupan manusia dalam segala tingkatan, baik biologis, ekonomi, dan spiritual, tidak bisa dilepaskan dari keberadaan alam semesta dan seluruh isinya.
Di sini, dapat kiranya kita pahami mengapa virus
ini dengan mudah dan cepat menyebar ke seluruh dunia. Sebab, medianya adalah
udara dan benda-benda lain yang tersedia secara berlimpah dalam alam. Demikian, kedekatan dan kesatuan ini seharusnya
menjadi alasan bagi kita manusia untuk mengupayakan selalu hubungan harmonis
dengan alam dan isinya dengan menghormati, merawat, dan memeliharnya.
Sayangnya, kita gagal untuk mengusahakan keharmonisan itu. Berakar pada paradigma antroposentrisme yang memandang manusia sebagai pusat dan standar nilai, kita justru jatuh dalam cara pandang yang menganggap alam sebagai materi semata yang terpisah dari kita. Corona menjadi semacam cermin untuk menyadarkan kita, bahwa jika saat ini hidup dan keberadaan kita terancam dan kritis, hal itu sesungguhnya karena kita gagal memahami dengan baik dan benar siapa kita, posisi dan peran kita di dalam alam.
Sayangnya, kita gagal untuk mengusahakan keharmonisan itu. Berakar pada paradigma antroposentrisme yang memandang manusia sebagai pusat dan standar nilai, kita justru jatuh dalam cara pandang yang menganggap alam sebagai materi semata yang terpisah dari kita. Corona menjadi semacam cermin untuk menyadarkan kita, bahwa jika saat ini hidup dan keberadaan kita terancam dan kritis, hal itu sesungguhnya karena kita gagal memahami dengan baik dan benar siapa kita, posisi dan peran kita di dalam alam.
Kritik terhadap kapitalisme
Beberapa tahun yang lalu, saat kampanye ekologi digemakan di dunia Barat, banyak para mahasiswa/I yang datang ke perusahaan Disney, sebuah perusahaan yang biasanya mencetak buku-buku dogeng binatang terlaris di dunia. Mereka datang dengan menggunakan pakaian atau kostum hewan yang biasanya muncul dalam dongeng-dongeng yang diproduksi oleh perusahaan tersebut. Yang menarik adalah jargon yang dibuat oleh mereka, “you speak about us, but you destroy our home”. Dari kampanye inilah, kesadaran ekologi lalu menjadi tema yang mau tidak mau masuk ke dalam berbagai diskusi. Orang mulai sadar, bahwa krisis ekologi bukan hanya disebabkan oleh semangat antroposentris, melainkan pula kapitalisme yang membabi buta. Kapitalisme yang membabi buta adalah wujud konkret dari keserakahan manusia menjadikan alam sebagai instrumen meraup untung sebanyak-banyaknya. Ekonomi kapitalisme menggeser berbagai tabu, menggantikan budaya keramahtamahan terhadap alam, menjadi objek konsumsi, yang mengubah relasi antar manusia menjadi relasi antar produk dan komoditas, mengganti sistem nilai keberadaan menjadi nilai guna. Kita lupa, bahwa alam memiliki sistem imunnya sendiri. Tradisi Yunani menyebutnya sebagai gaia theory alam bisa memusnahkan untuk merehab kembali dirinya, bahkan bila harus memusnahkan manusia. Jika alam telah enggan bersahabat dengan kita, maka tidak ada salahnya untuk berdialog dengan rumput yang bergoyang, kepada lautan, kepada gunung dan bukit, sebagai tanda hormat bahwa alam adalah leluhur manusia, adamah: “yang lahir dari bumi”.
Beberapa tahun yang lalu, saat kampanye ekologi digemakan di dunia Barat, banyak para mahasiswa/I yang datang ke perusahaan Disney, sebuah perusahaan yang biasanya mencetak buku-buku dogeng binatang terlaris di dunia. Mereka datang dengan menggunakan pakaian atau kostum hewan yang biasanya muncul dalam dongeng-dongeng yang diproduksi oleh perusahaan tersebut. Yang menarik adalah jargon yang dibuat oleh mereka, “you speak about us, but you destroy our home”. Dari kampanye inilah, kesadaran ekologi lalu menjadi tema yang mau tidak mau masuk ke dalam berbagai diskusi. Orang mulai sadar, bahwa krisis ekologi bukan hanya disebabkan oleh semangat antroposentris, melainkan pula kapitalisme yang membabi buta. Kapitalisme yang membabi buta adalah wujud konkret dari keserakahan manusia menjadikan alam sebagai instrumen meraup untung sebanyak-banyaknya. Ekonomi kapitalisme menggeser berbagai tabu, menggantikan budaya keramahtamahan terhadap alam, menjadi objek konsumsi, yang mengubah relasi antar manusia menjadi relasi antar produk dan komoditas, mengganti sistem nilai keberadaan menjadi nilai guna. Kita lupa, bahwa alam memiliki sistem imunnya sendiri. Tradisi Yunani menyebutnya sebagai gaia theory alam bisa memusnahkan untuk merehab kembali dirinya, bahkan bila harus memusnahkan manusia. Jika alam telah enggan bersahabat dengan kita, maka tidak ada salahnya untuk berdialog dengan rumput yang bergoyang, kepada lautan, kepada gunung dan bukit, sebagai tanda hormat bahwa alam adalah leluhur manusia, adamah: “yang lahir dari bumi”.
Bersahabat
dengan alam di tengah Pandemi Corona
Merebaknya Pandemi Corona menyadarkan manusia akan tanggungjawab moralnya terhadap alam. Seperti telah disebutkan, ia adalah paradigma yang menjadi autokritik yang menghantar manusia pada kesadaran bahwa manusia hanyalah mikrokosmik dalam kosmos yang maha luas. Ia menjadi bagian dari segala yang tercipta, memiliki nilai, sekaligus serpihan serempak yang membentuk sebuah mozaik yang kita sebut Bumi. Bumi akhirnya menjadi rumah bagi seluruh makhluk hidup. Berkaitan dengan bumi sebagai rumahlah, kita akhirnya berhasil menerjemahkan maksud Ernst Haeckel (1834-1919), akan arti hakiki dari ekologi, yakni dari dua kata Yunani, oikos: rumah dan, logos: pengetahuan. Dari arti etimologis inilah, ia memberikan sebuah konsep baru akan ekologi, sebuah penerimaan situasi manusia sebagai bagian dari jaringan persahabatan dengan organisme hidup lainnya, dan berupaya membangun keramahan dan persahabatan bersama kehidupan sekitar.
Merebaknya Pandemi Corona menyadarkan manusia akan tanggungjawab moralnya terhadap alam. Seperti telah disebutkan, ia adalah paradigma yang menjadi autokritik yang menghantar manusia pada kesadaran bahwa manusia hanyalah mikrokosmik dalam kosmos yang maha luas. Ia menjadi bagian dari segala yang tercipta, memiliki nilai, sekaligus serpihan serempak yang membentuk sebuah mozaik yang kita sebut Bumi. Bumi akhirnya menjadi rumah bagi seluruh makhluk hidup. Berkaitan dengan bumi sebagai rumahlah, kita akhirnya berhasil menerjemahkan maksud Ernst Haeckel (1834-1919), akan arti hakiki dari ekologi, yakni dari dua kata Yunani, oikos: rumah dan, logos: pengetahuan. Dari arti etimologis inilah, ia memberikan sebuah konsep baru akan ekologi, sebuah penerimaan situasi manusia sebagai bagian dari jaringan persahabatan dengan organisme hidup lainnya, dan berupaya membangun keramahan dan persahabatan bersama kehidupan sekitar.
Numpang promo ya gan
ReplyDeletekami dari agen judi terpercaya, 100% tanpa robot, dengan bonus rollingan 0.3% dan refferal 10% segera di coba keberuntungan agan bersama dengan kami
ditunggu ya di dewapk^^^ ;) ;) :*