Mungkin sebelum menguraikan beberapa poin
konkrit dari setiap skenario dalam polemik food estate saat ini,saya ingin memberikan
deskripsi singkat yang secara pribadi terkait keadaan lingkungan saat ini bahwa
secara terang-terangan saya tanggapi jika disiplin penegakan Hukum lingkungan
di Indonesia masih sangat kurang efektif,dimana meskipun sudah ada
undang-undang jelas yang mengatur, masih banyak pelanggaran hukum lingkungan
yang dilakukan oleh manusia apalagi pengusaha nakal untuk kepentingan pribadi.
Arti simpulnya secara pribadi menurut saya penegakkan hukum memiliki peranan
penting dalam mendukung perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup
sebagaimana diatur dalam Undang-Undang No. 32 Tahun 2009, namun lebih dari pada
itu Hukum Lingkungan sesungguhnya juga mengedepankan kearifan lokal dan
pendekatan asas subsidiaritas yang ditujukan untuk mengoptimalkan kesadaran para
pihak untuk menjaga kelestarian fungsi lingkungan hidup, namun jika kesadaran
tersebut tidak ada maka Hukum wajib ditegakkan.
Hal dari segala bentuk pengrusakkan
lingkungan tentu sangat berdampak pada menurunnya kualitas ekonomi yang sangat
mendasar memberikan pengaruh penting akan kemajuan dan perkembangan percepatan
industri dan ekonomi masyarakat menengah kebawah.Manusia adalah makhluk yang
tidak dapat dilepas dari lingkungan,keterkaitan satu sama lain antara manusia
dengan lingkungan adalah hukum yang sangat mengikat.
Kebijakan Food Estate atau lumbung pangan
yang disebut-sebut sebagai respons terhadap pandemic merupakan program
pemerintah yang tujuannya memperbaiki sistem perekonomian dan keberadaan sistem
industrial pangan masyarakat. Food estate di Sumatera, Papua dan tidak
terkecuali dengan Kalimantan yaitu
Provinsi Kalimantan Tengah menjadi lahan datar yang akan dibuat menjadi
program pemerintah yang disebut Food estate.Dengan variasi luas antara ribuan
hingga jutaan hektar,Lokasi awal food estate Sumut (30.000 Hektar), Kalteng
(770.601 Hektar). Lokasi selanjutnya yang telah diwacanakan untuk dibuka.Hal
ini khusus Provinsi Kalimantan Tengah tentu akan memiliki respon akan peluang
dan tantangannya sendiri menjawab food estate ini.Secara garis besar beberapa
poin dibawah ini akan disebutkan akan tantangan Provinsi Kalimantan Tengah
terhadap food estate.
Tantangan Kalimantan Tengah terhadap food
estate ;
Eksploitasi lingkungan secara masif
disebuah kawasan ini berpotensi menimbulkan kerusakan lingkungan yang lebih
luas.Kerentanan persawahan monokultur (seperti yang direncanakan dalam food
estate) salah satu contohnya ialah wereng coklat di Jawa yang mengakibatkan
gagal panen, hama, virus dan penyakit pada tanaman pertanian serta kemungkinan
terjadinya kebakaran lahan persawahan seperti yang terjadi pada tahun
1997.Dampak dari food estate bisa lebih mengerikan, karena sudah bergantung
dengan food estate dimana sumber pangan selalu ada. Padahal ada kemungkinan
dimana suatu musim panen akan gagal karena hama, virus dan penyakit pada
tanaman bahkan karena kebakaran. Hal ini tidak hanya merugikan manusia tapi
juga lingkungan karena adanya perubahan perilaku pada hewan seperti ulat bulu yang menyerang padi padahal sebelumnya
tidak menyerang padi karena kurangnya pohon yang dulunya dikonsumsi oleh ulat
bulu tersebut hal ini diakibatkan dari persawahan monokultur itu tadi.
Kurangnya pohon ini disebabkan oleh alih fungsi lahan proyek ini.Di kalimantan
proyek food estate pernah gagal dimasa pemerintahan Presiden Soeharto pada
tahun 1996, idenya mencetak sawah dan lumbung pangan di lahan gambut. Di dalam
konteks ini ditunjukan gambar dari lahan gambut yang terbuka bekas dari rencana
Seoharto tadi. Proyek mencetak sawah skala besar memerlukan bendungan,
pengairan dan saluran irigasi. Karena itulah kanal-kanal air dibangun yang
mengakibatkan air yang selama ini tertahan di dalam gambut mengalir memenuhi
kanal-kanal buatan. Gambut yang tadinya basah dengan cepat mengering dan lebih
mudah terbakar hal ini yang menyebabkan kebakaran di lahan gambut paling sulit
dipadamkan. Karena gambut telah kehilangan kandungan airnya, tanpa kandungan
air gambut seperti tumpukan ranting kering yang dengan cepat terbakar. Jadi,
telah terjadi perubahan terhadap tanah gambut yang merusak lingkungan karena
mudah terjadi kebakaran hutan, serta menjadi permasalahan lingkungan yang
bahkan sampai ke wilayah negara lainnya yaitu kabut kebakaran hutan yang tak
hanya menggangu penglihatan serta kesehatan namun juga transportasi (terlebih
penerbangan) negara-negara tetangga. Pada tahun 1997 kebakaran besar terjadi
dan sejak itu kebakaran dan kabut asap menjadi rutin. Teurtama pada tahun 2015
dan 2019. Alih-alih merestorasi kawasan gambut yang rusak pemerintahan saat ini
malah melanjutkan proyek Food Estate di lahan bekas proyek Era Pemerintahan
Presiden Soeharto. Kebakaran yang terjadi di Tanjung Taruna, Kalimantan Tengah
Pada 2019 merupakan lokasi Food Estate di era Soeharto, karena kanal-kanal air
tadi, serta hutan yang terbakar sungai menjadi tidak berfungsi semestinya yang
mengakibatkan kehidupan masyarakat sekitar yang bergantung pada alam terbatas.
Seperti di Tanjung Taruna sungainya terpotong bahkan mati sampai sekarang
karena adanya kanal irigasi. Ikan yang berada disungai berkurang. Begitu banyak
satwa yang terancam punah , serta kegiatan oknum nakal yang dikuliti dengan
menjual secara ilegal, sebelum dikuliti tentu saja hewan-hewan yang dilindungi
ini diburu. Hal ini melanggar ketentuan Pasal 21 ayat (2) juncto. Pasal 40 ayat
(2) Undang-Undang Nomor 05 Tahun 1990 Tentang Konservasi Sumber daya Alam
Hayati dan Ekosistemnya yang bunyi pasal 21 ayat 2
Peluang Kalimantan Tengan terhadap
food estate ;
Food Estate akan menjadi program super prioritas dengan mengedepankan kepentingan pangan.Program food estate dinilai mampu mangangkat produk-produk khas daerah tropis untuk dipasarkan kemanca Negara dan memenuhi konsumsi dalam negeri.Serta hal mendasar penting bahwa food estate sendiri menjadi penggerak infrastruktur,pertumbuhan ekonomi,membuka lapangan pekerjaan dan dinilai akan mampu memberikan dampak yang baik pada ketahanan pangan.
Penulis, Dewinia Halawa
0 comments: