Hakekat Agama dalam Negara yang Majemuk
Dalam Negara yang majemuk dengan beragam budaya,
suku, bahasa, dan agama akan membawa kita dalam konsepsi berpikir pada dominasi
antar golongan ditengah realitas kemajemukan yang ada. Tentu itu konsekuensi
yang terjadi apabila pemahaman terhadap keragaman bersifat egosentris golongan
saja, sehingga akan berpotensi terjadinya perpecahan apabila sifat ini terus
tumbuh. Status agama yang akhir-akhir ini paling disoroti dan pelik untuk
dibahas, bukan soal hubungan secara vertikal antar manusia dan sang Pencipta,
tetapi hubungan secara horizontal antar manusia. Berdasarkan sila pertama dalam
Pancasila yang berbunyi “Ketuhanan yang Maha Esa” yang juga mengisyaratkan kita
untuk menjunjung tinggi nilai Ketuhanan sebagai wujud relasi dengan Tuhan yang
diyakini sebagai sumber segala kebaikan, kebebasan dalam memeluk agama juga
sudah diatur dalam UUD 1945 pasal 29 yang menyatakan bahwa Negara berdasarkan
atas Ketuhanan yang Maha Esa dan Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk
untuk memeluk agamanya masing-masing untuk beribadat menurut agama dan
kepercayaannya, ini suatu keberagaman yang justru menjadi simbol persatuan
dengan dibalut paham toleransi untuk saling menghargai dengan menjaga keutuhan
dan harmonis agar tetap terus dapat berjalan beriringan untuk mencapai
cita-cita bangsa. Namun, belakangan ini isu agama dengan krisis toleransi masih
terus terjadi, sebagai contoh yang terjadi pada penghujung bulan Desember 2021
yang lalu, di kawasan Tulang Bawang, Lampung dengan kasus persekusi saat ibadah
Natal dan yang terjadi di daerah desa Wonorejo, Lumbang, Kab. Pasuruan dalam
menyambut hari Raya Natal.
Konstitusi menjamin kemerdekaan setiap penduduk untuk
memeluk agama dan beribadah menurut agama yang dipeluknya. Lebih jauh lagi
apabila Institusi agama yang melarang, terlebih melakukan kekerasan terhadap
umat beragama lain yang sedang beribadah, dapat dianggap melecehkan konstitusi.
Konstitusi Indonesia, yakni UUD 45 jelas menegaskan akan jaminan kebebasan
beragama, dalam Pasal 28E ayat (1). Ditegaskan bahwa “Setiap orang bebas
memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, memilih pendidikan dan
pengajaran, memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilih tempat tinggal
di wilayah negara dan meninggalkannya, serta berhak kembali.” Peran negara
untuk itu juga dinyatakan pada Pasal 29 Ayat (2), yakni “Negara menjamin
kemerdekaan tiap-tiap penduduknya untuk memeluk agama masing-masing dan untuk
beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu”.
Peraturan perundang - undanganan lain juga
menegaskan, seperti UU Nomor 39 tahun
1999 tentang Hak Asasi Manusia, dalam Pasal 22 (2). "Negara menjamin
kemerdekaan setiap orang memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat
menurut agamanya dan kepercayaannya itu." Dan Kitab Undang-undang Hukum
Pidana (KUHP) juga menegaskan kembali, dalam Pasal (175). "Barang siapa
dengan kekerasan atau ancaman kekerasan merintangi pertemuan keagamaan yang
bersifat umum dan diizinkan, atau upacara keagamaan yang diizinkan, atau
upacara penguburan jenazah, diancam dengan pidana penjara paling lama satu
tahun empat bulan."
Dari hal diatas sudah sangat jelas kebebasan beragama
diatur dalam hukum negara. Tinggal kembali kepada penyelenggaran negara untuk
menegakan dan memberi efek jera kepada pelanggar seperti yang diinginkan
pendiri bangsa kita. supaya tindakan intoleransi yang merusak Identias Bangsa
tidak dibiarkan berkembang biak dan tumbuh subur dalam bumi pertiwi ini. Jadi
untuk seluruh masyarakat yang masih terlena dengan primordialisme agama
keluarlah dari kesempitan karna kita indonesia dengan keberagaman didalamnnya,
mejemuk masyarakatnya. Jadikan Pluralisme bangsa sebagai transformasi peradaban
dalam meningkatkan etos kerja, etika dalam menjalankan profesi, dan
produktivitas bangsa yang berbudaya demi menjaga netralitas. Tentu hal ini
sudah mencederai kerukunan umat beragama, yang seharusnya agama merupakan
sebuah media tentang kesadaran manusia terhadap Iman bagi sang Pencipta untuk
membawa umat manusia kepada suatu keadilan, damai, dan gotong royong untuk
saling meneguhkan dan mempersatukan dalam kehidupan beragama.
Agama
merupakan Kesadaran Manusia
Agama
seperti yang telah dibahas diatas merupakan sebuah media tentang kesadaran
manusia terhadap Iman sebagai umat beragama. Dapat dipahami melalui teori Paulo
Freire tentang level kesadaran kemanusiaan ini menarik untuk melihat posisi
agama dalam kehidupan manusia. Paulo Freire berpandangan kesadaran kemanusia
itu ada tiga level. Pertama kesadaran magis, yaitu memandang nasib manusia
ditentukan oleh faktor natural (alam), atau supranatural (melampui alam) sang
Pencipta. Kedua kesadaran naïf, yaitu memandang nasib manusia ditentukan oleh
tindakannya sendiri. Ketiga kesadaran kritis, yaitu memandang nasib manusia
ditentukan oleh struktur atau sistem yang ada. Kembali pada soal Agama dan
kesadaran kemanusiaan. Saya meyakini bahwa setiap agama, apalagi yang dibawa
oleh utusan Allah, punya misi awal memanusiakan manusia yang sangat kuat. Keimanan
pada Allah meniscayakan sikap baik pada manusia, bahkan makhluk-Nya. Namun di
tangan umatnya, agama sepertinya tergantung pada kesadaran kemanusiaan mereka.
Umat beragama yang dominan kesadaran magisnya akan melihat segala hal sebagai
ketentuan Tuhan atau melihat setiap ajaran agama dalam relasi umat dengan Tuhan
semata, atau lebih spesifik lagi ajaran agama dihayati sebagai perintah Tuhan
untuk ditaati.
Kesadaran seperti ini sangat menetramkan, sebagai contoh dalam
menghadapi situasi buruk atau kemungkinan buruk yang berada di luar kendali
kita. Misalnya kematian. Ketika orang terkasih kita wafat, karena tidak mungkin
dihidupkan kembali, maka lebih menenangkan jika menerimanya sebagai ketentuan
mutlak Tuhan. Pun saat naik pesawat, yakni apakah pesawat akan selamat atau
jatuh sudah berada di luar kendali kita sebagai penumpang, sehingga pasrah
mutlak pada kehendak Tuhan atas nasib sangat menenangkan. Namun, kesadaran ini
cukup berbahaya karena bisa disalahgunakan oleh pihak lain untuk tunduk mutlak
pada kepentingan mereka yang dibalut sebagai “kepentingan” Tuhan. Tidak
menuruti kepentingannya berarti melawan Tuhan. Agaknya manipulasi kesadaran
spiritual umat beragama seperti inilah yang menjadi konteks lahirnya diksi:
“agama sebagai candu” dan “politik identitas atasnama Agama”. Ditangan umat
beragama dengan kesadaran Naif, ada pengaruh yang cukup berbeda. Mereka sudah
mulai menghubungkan ajaran agama dengan kemaslahatan manusia, namun baru
sebatas individu. Agama adalah tuntunan Tuhan untuk menjadi orang yang baik
pada siapapun dan apapun sebagai sesama makhluk Tuhan. Iman menuntun umat
beragama untuk menjadi suami/istri, orangtua/anak baik, orang yang berkata
baik, menghormati tamu, tetangga, tidak menyiksa hewan, juga tidak merusak
alam. Singkat kata, iman kepada Tuhan mengharuskan kita berprilaku baik. Terakhir,
di tangan umat dengan kesadaran kritis, agama tidak hanya dipahami sebagai tuntunan
untuk melakukan kebaikan, tapi juga menggunakan kekuatan untuk memerintahkan
semua pihak bertindak secara layak, dan melarang mereka bertindak
sewenang-wenang. Agama adalah soal menciptakan sistem kehidupan yang memberi
kebaikan pada semesta, lintas negara, agama, manusia, bahkan makhluk hidup yang
lain. Agama mesti dihayati sebagai kekuatan untuk menegakkan asas keadilan dan
kemanusiaan, karenanya fenomena sosial yang terjadi terkait agama yang menindas
agama lain harus ditegakkan atas dasar hukum dan hakekat agama pada umumnya
sesuai yang telah ditafsir bukan mutlak atas dasar kepentingan semata saja,
sehingga perlu adanya pemahaman bahwa agama adalah simbol persatuan dalam
kesadaran manusia terhadap iman untuk kemudian umat manusia dapat berjalan
secara bersama-sama dalam satu bingkai persaudaraan, dalam kontekstualisasi
Negara Indonesia yang beragam saat ini, hendaknya nilai persaudaraan ini terus
dipupuk dalam semboyan “Bhineka Tunggal Ika” yang terus digaungkan sebagai tali
pengikat dalam kehidupan bernegara.
0 comments: