Membaca judul
tersebut di atas, muncul suatu pertanyaan aneh secara spontan : “ Kog, dosa
dibangakan?” Apalagi kalau ditambah dengan frase : dibangga-banggakan….
Perkembangan
gereja akhir-akhir ini cukup baik, cukup membanggakan. Banyak kaum awam yg
mengikuti kursus kitab suci, banyak awam terlibat dalam kelompok kategorial
seperti Meditasi Kristiani, Legio Maria, Karismatik Katolik, THS-THM dan
lain-lain. Dalam kelompok tersebut awam merasa terpanggil untuk terlibat dalam
pelayanan gereja. Umumnya kelompok-kelompok tersebut didampingi oleh Para Romo
sehingga bila ada yg bengkok, akan diluruskan.
Kita awam katolik
ini ada yg sudah dibabtis dari bayi, anak-anak, remaja atau dewasa. Bahkan saat
usia kandungan menginjak 7 bulan, tradisi di Jawa akan melakukan ritual mitoni dengan pendekatan budaya dan
iman. Singkat cerita, sejak kita dalam kandungan sudah dikenalkan dengan Yesus,
Tuhan kita. Dalam menjalani rutinitas kita, apalagi kita jarang aktif di
kegiatan-kegiatan gereja (social, KBG, kategorial, kor, dll), hidup iman kita
serasa datar saja, membosankan, begitu-begitu saja. Ada suatu titik jenuh
bahkan menghantar kita pada titik apatis dengan kegiatan rohani/menggereja.
Apalagi ditambah dengan tekanan hidup membuat kita seolah-olah bukan murid
Yesus lagi. Akhirnya kita berusaha mencari “tempat lain” sebagai sarana
penyaluran kehambaran iman ini. Ada yg mengikuti ibadat di gereja lain, ada yg
bergabung dengan kelompok kerohanian buah kearifan lokal nusantara. Dalam kelompok
terakhir ini kita tetap berdiri dalam iman kita masing-masing, hanya
“pembimbing rohaninya” menyampaiakan pesan yg bersifat universal.
Saya sharingkan
pengalaman kerohanian saya. Saya seorang aktifis gereja, yg dulu sempat
mengikuti aktifitas di PMKRI saat kuliah, aktif di lingkungan stasi. Ada suatu
pemberontakan dalam jiwa terkait dengan kondisi pekerjaan dan akhirnya membuat
saya sakit. Pengobatan medis sudah ditempuh tetapi tidak membuahkan hasil.
Lumrah bagi kita jika mengalami kondisi demikian kita akan mencari pengobatan
alternative ke orang atau kelompok tertentu. Itu sah-sah saja, karena Tuhan
berkarya seperti angin yg berhembus kemana ia kehendaki; sehingga siapapun yg
mau dipakai Tuhan sebagai sarana penyembuhan, itu akan terjadi. Di satu sisi
anjuran para Romo melalui mimbar Sabda/katekese agar kita senantiasa berdoa tak
henti-hentinya menggerus kesabaran kita karena kesembuhan itu tidak kunjung
datang. Apakah kita salah kalau mencari pengobatan alternative di tempat lain,
bahkan di luar jalur keimanan katolik kita? Di sisi lain kita berhak untuk
mengalami kesembuhan, apapun caranya, melalui jalan apapun. Intinya jiwaku
memberontak dengan kondisi kesehatan dan suasana tempat kerja saya. Singkat
cerita saya bergabung dengan kelompo tertentu (non Kristen) , kearifan lokal
nusantara. Di situ kami mengolah batin dengan pendekatan iman masing-masing,
meditasi di pantai saat malam hari, menjalankan ritual “penyembuhan”
bersama-sama. Intinya saya cukup enjoy dengan kelompok itu, bahkan sampailah
saya pada titik/level tertentu : bisa mengobato orang, bisa mengirimkan energy
jarak jauh (bahkan sampai ke luar pulau) ke saudara/orang yg sakit dan
membutuhkan doa kita. Kami bisa mengobrol sampai jam 2, 3 dini hari tanpa
mengalami kelelahan/ngantuk saat jam kerja. Dalam menjalani kehidupan
“spiritual” kelompok ini, saya semakin rajin membaca kitab suci dan menekuni
devosi Koronka (Kerahiman Ilahi).
Di satu sisi,
isteri dan mertua saya tidak terima dengan kondisi saya yg rela bergabung
dengan kelompok itu sampai dini hari dan mengabaikan kebersamaan dalam
keluarga. Ketegangan ini semakin memuncak, di satu sisi batin saya memberikan
pembelaan karena dalam kelompok tersebut saya merasa doa saya semakin baik,
“kualitas iman” saya terasa semakin baik (walaupun itu sifatnya pembelaan).
Mertua dan isteri saya sampai menangis. Akhirnya kami berkumpul dan berdiskusi
sambil berdoa di hadapan salib dan lilin yg bernyala. Akhirnya saya berdiam
diri sejenak dan tidak hadir di kelompok tadi, merenung sejenak dalam kecamuk hati
yg tidak karuan.
Saya duduk
termenung di teras rumah saya dan kebetulan saat itu bulan purnama. Saya
melemparkan pernyataan ini kepada Yesus, “Yesus, dalam pemahaman iman saya, di
mana ada Yesus (dalam rumah tangganya), di situ pasti ada damai sejahtera.
Mengapa di saat saya merasa kehidupan doa dan iman saya semakin baik, tetapi
rumahku terasa panas, ada penolakan dari isteri dan mertuaku? Berikan aku
tanda!” Aku tetap menikmati bulan purnama tersebut di atas langit yg sangat
cerah ditaburi bintang-bintang yg terang. Tiba-tiba ada awan yg membentuk
lingkaran di sekitar bulan purnama itu dan lingkarannya ada 2. Secara keilmuan
yg kita dapat bahwa fenomena lingkaran itu kerap terjadi tapi cuma 1 lingkaran
saja. Yang terjadi saat itu ada 2 lingkaran. Lalu saya berlutut sejenak
mengucapkan syukur dalam doaku atas petunjuk itu, dan memutuskan untuk
keluar/meninggalkan kelompo “spiritual” tadi.
Ada waktu dan
ruang yg kosong setelah meninggalkan kelompok tadi dan menimbulkan kecemasan
iman. Dalam kecemasan itu saya iseng ke Toko Buku Gramedia mencari buku. Lalu
saya membeli buku Meditasi Kristiani karya seorang imam Ordo Carmel. Saya
membaca buku itu sampai akhir dan mulai praktek meditasi secara pribadi. Saya
merasa nyaman dengan meditasi kristiani itu. Lalu saya ajak teman-teman saya
untuk praktek meditasi tersebut di rumah saya. Selanjutnya kami konsultasi
dengan Romo Paroki mohon pendampingan dalam kelompok Meditasi Kristiani
tersebut, bahkan didatangkan pembimbing yg kompeten al Romo Buyung, O Carm.
Perkembangan kelompok ini menjadi cikal bakal pelaksanaan Adorasi Abadi
(Adorasi 24 jam) di Paroki tersebut. Sebelum kami mengundang umat lain untuk
bergabung dalam kelompok ini, saya mengakui dosa saya di hadapan Tuhan dengan
Sakramen Tobat.
Meditasi dan
Rosario Koronka akhirnya menjadi peganganku dalam keseharian. Di situlah
kebanggaan saya, bahwa melalui ketersesatan iman, saya menemukan harta rohani
sampai sekarang. Di situlah Tuhan menempa kita dari suatu masa padang gurun
(krisis, bosan, malas berdoa) ke oase kehidupan. Tentu sahabat PMKRI punya
pengalaman lain bagaimana mengembangkan imannya. Perlu selalu mewaspadai
identitas si jahat, yg kesannya seperti hal yg suci, melalui pembenaran
tertentu; untuk itu harus selalu membuat refleksi atas setiap pengalaman “terhibur”,
apakah “hiburan” tersebut adalah buah-buah Roh atau kamuflase dari si jahat.
Demikian sharing saya kali….selamat merefleksikan kehidupan masing-masing.
Penulis, Adam Silvanus
0 comments: