Di sore hari itu saat warna langit perlahan menjadi jingga, obrolan santai dengan papan catur seperti biasa mengisi hari-hari kami di tengah kesibukan. Di rumah ketua jhon sapaan akrab kami untuk seseorang aktivis dan pembaca buku pada zamannya. Diskusi random kami mulai. Bahasan kami sederhana kadang soal mimpi masa depan, kadang soal sejarah, politik, bahkan tak jarang kami asik bergurau tentang cinta.
Obrolan asik kami sore itu tiba-tiba terhenti saat bunyi azan magrib terdengar dan takalah juga nyaringannya bunyi dari perut sixpacek ku ini pertanda isinya kosong alias keroncongan. Lantas diskusi sore itu terheti dan langsung di sambut dengan gelak tawa.
Lalu ketua Jhon yang kala itu kalah kubatai 3 : 1 di atas papan catur pun spontan mengaja kami makan "gass makan kita, karena perut kosong pertanda jiwa yang kekurang asupan cinta, sebelum lanjut membahas taktik menakluki cinta mari kita isi perut itu" ujarnya sambil ketawa ngakak. Pikirku dalam hati "memang tak salah beliau ini di juluki pujangga kampus pada masanya".
Sembari menyiapkan piring makan, rupanya satu kuali masakan babi yang di hidangkan ketua jhon di hadapan kami, aromanya melayang-layang bagai siluet dengan taburan rempah-rempah ala masakan di kampung halaman.
"Ketua jhon memang tak pernah gagal kalau urusan masak" gurauku sembari menyendok daging babi kedalam piring yang sudah siap dengan nasi hangat. Obrolan kami berlanjut, suapan demi suapan potongan daging babi perlahan aku masukan kedalam mulut tak ingin melewatkan rasa dari setiap hela bumbu kuning yang gurih itu.
Tak sampai beberapa suapan seorang teman bernama mister Gorby nyeletup dengan candaan nya " semoga Tuhan tidak melihat kita, karena daging ini enak tapi haram" candanya sambil ketawa. "Dimana kh Tuhan itu berada?" Sambungnya bertanya.
Lalu dengan penuh keyakinan teman lainnya lagi bernama fepen menjawab, “Tuhan ada di atas sana, di surga. Tuhan ada dalam kitab suci. Tuhan ada dalam aturan yang Ia turunkan kepada kita.”
Akupun tertawa kecil. “Jika Tuhan ada di surga, apakah itu berarti Ia tidak ada di sini? Jika Tuhan hanya ada dalam kitab suci, apakah itu berarti Ia tak hadir dalam hati manusia? Jika Tuhan hanya ada dalam aturan, apakah itu berarti Ia hilang saat aturan tak ada?”
Fepen mengernyit, merasa keheranan. “Tuhan ada di mana-mana,” jawabnya lebih hati-hati.
Akupun saat itu mengangguk. “Jika Tuhan ada di mana-mana, maka bukankah Ia juga ada dalam sepiring babi ini?”
Fepen terperangah. “Itu tidak mungkin, Tuhan tidak ada dalam sesuatu yang haram.”
Akupun tersenyum lagi. “Jadi Tuhan terbatas? Tuhan hanya ada dalam yang suci dan tidak ada dalam yang kotor? Tuhan hanya ada dalam yang halal dan tidak ada dalam yang haram? Tuhan hanya ada dalam aturan, tetapi tidak ada dalam kasih sayang?”
Fepen itu terdiam. Ia merasa ada yang tidak beres dengan pemikirannya, tetapi tak tahu bagaimana menjelaskannya.
Berselang sekitar 30 menit berlalu hidangan lezat itupun ludes kami santap, selesai beres-beres kami pun pulang kerumah kami masing-masing.
Sampai di rumah akupun merenungi obrolan kami sore tadi dan ingat dengan fenomenas sosial manusia masa kini.
Dalam hati aku bergumam sendiri "Manusia memang aneh sering kali memuja Tuhan, tetapi dalam waktu yang sama, mereka berusaha membatasi-Nya. Mereka menempatkan Tuhan di tempat yang tinggi, lalu dengan keangkuhan, mereka bertindak seolah mengetahui segala isi hati-Nya. Mereka mengutip kitab suci, meneriakkan ayat-ayat, lalu menggunakannya sebagai pedang untuk menghakimi orang lain.
Namun, apakah manusia benar-benar mengenal Tuhan, atau hanya mengenal gambaran Tuhan yang telah mereka ciptakan sendiri?
Jika Tuhan memang sebesar yang mereka katakan, mengapa mereka merasa perlu membela-Nya dengan amarah? Jika Tuhan memang Maha Segalanya, mengapa mereka bertindak seolah-olah tanpa mereka, Tuhan akan kehilangan kekuasaan-Nya?"
Mungkin, di sinilah ironi terbesar manusia: mereka menyebut nama Tuhan, tetapi tak pernah benar-benar mencarinya. Mereka beribadah setiap minggu, tetapi lupa bertanya, “Siapa Tuhan itu sebenarnya?”
Misteri ini ber abat-abat lamanya tak tersentuh dan tak terjawab oleh manusia.
Pada malam itu aku menatap langit, lalu menutup matanya. Aku merasakan angin, mendengar suara langkah kaki, merasakan detak jantungku sendiri.
Lalu bergumam dalam hati "Tuhan tidak ada di langit. Tuhan tidak ada dalam aturan. Tuhan tidak ada dalam penghakiman. Tuhan ada dalam setiap embusan napas, dalam setiap detak kehidupan, dalam cinta yang tak bersyarat. Tuhan ada dalam kepedulian yang tak menghakimi, dalam pengertian yang melampaui kata-kata, dalam misteri yang takersentuh oleh pikiran manusia.
Dan mungkin, di sanalah Tuhan mulai berbicara bukan dalam suara yang menggelegar, bukan dalam amarah yang berkobar, tetapi dalam keheningan yang mengajarkan kebijaksanaan.
Aku berfikir mungkin, selama ink letak paradoks terbesar: manusia ingin memahami Tuhan, tetapi Tuhan terlalu besar untuk dipahami. Segala konsep yang kita buat tentang-Nya hanyalah bayangan redup dari sesuatu yang tak terjamah.
Kita membangun hukum-hukum untuk mendekat kepada-Nya, tetapi sering kali hukum-hukum itu justru menjauhkan kita dari-Nya. Kita ingin merasakan kehadiran-Nya, tetapi terlalu sibuk mencari-Nya di tempat yang salah.
Di akhir hari, mungkin Tuhan tidak ada dalam aturan, tidak ada dalam batasan, tidak ada dalam penghakiman. Mungkin Tuhan ada dalam momen sederhana seperti sore tadi, dalam kasih yang diberikan tanpa pamrih, dalam senyum seorang asing, dalam kehangatan makanan yang disantap dengan rasa syukur.
Dan mungkin, ya mungkin, Tuhan juga ada dalam "Sepiring Babi" bukan dalam dagingnya, bukan dalam statusnya, tetapi dalam kesadaran bahwa keilahian tidak bisa dipenjara oleh batasan manusia.
Akhir kata tulisan ini sengaja aku buat, bukan dengan maksud menyinggung siapapun atau kelompok manapun, melainkam semata-mata untuk membuktikan bahwa kebebasan berfikir itu sungguh ada segaligus menjadi anak panah kritik untuk semua orang.
Oleh :
Fardoari Reketno
Presidium Gerakan Kemasyarakatan